Pada sekitar 116 Tahun yanglalu tepatnya tahun 1896 pada waktu itu Bandung belum di sebut kota karena penduduknya yang terdata hanya 29.382 orang. itupun sekitar 1,250 orang mayoritas orang Belanda. pada waktu itu bandung hanyalah desa dan jalan Braga yang melegenda dulu hanya berupa jalan tanah becek yang sering dilalui sapi dan kuda. penerangan pun hanya memakai lentera dan beberapa memakai lampu minyak seperti di Cikapundung dan Jalan Asia-Afrika.
pada tahun tersebutlah Bandung di usulkan menjadi lokasi pertemuan Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters atau Pengurus Besat Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula yang pusatnya di Surabaya. karena fasilitas di Bandung masih belum memadai sebagai lokasi pertemuan tersebut. salah satu panitia kongres pada waktu itu mendapat masukan untuk memeriahkan dan menghangatkan dingin pengunungan dan suasana pada pertemuan itu. maka didatangkanlah Noni noni cantik Indo dan belanda dari Perkebunan Pasirmalang. dan akhirnya kongres itu pun Sukses Besar. dan bagi pengusaha perkebunan gula yang banyak datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. kongres di Bandung tersebut sangat berkesan sehingga para peserta membuat istilah akan kesuksesan kongres tersebut " De Bloem der Indische Bergsteden (Bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda)". tapi sebutan "Bloem" oleh pengusaha perkebunan tersebut mengarah kepada Service yang diberikan oleh Noni-noni cantik yang menghiasi kongres tersebut.
tentu saja makna kembang bukan dirujuk dari kongres tersebut. dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Haryoto kunto menulis bahwa kembang yang dimaksud karena Bandung yang di Soleki. Dirias dan Dihias ketika kana dikunjungi pejabat negara, tamu resmi dari dalam dan luar negeri.
Pada waktu kongres itu, yakni pada acara penutupannya, didatangkan juga “zangeres”, yaitu biduan/nita yang berasal dari Paris, Prancis. Sudah rahasia umum, para pengusaha perkebunan memang kaya raya sehingga hiburan apapun yang ada di Eropa akan mereka sewa dan didatangkan ke Jawa. Tapi sayang, ketika artis akan menyanyi, tiada piano di Bandung. Pada saat itu, tidak ada satu pun piano di “kampung” Bandung. Tapi untunglah, ada piano rongsokan yang bisa diutak-atik diperbaiki oleh Jan Fabricius lalu dibawa ke Societeit Concordia yang letaknya di sebelah Hotel Homann. Tapi malangnya lagi, tidak ada satu orang pun angggota panitia yang bisa main piano waktu itu. Untunglah ada Mama Homann, seorang ibu yang menjadi istri pemilik Hotel Savoy Homann di Bandung.
Sekian dekade kemudian, muncullah ragam sanjungan untuk Bandung sebagai Kota Kembang, baik dalam arti harfiah maupun maknawiah. Satu lagu yang enak didengar adalah lagu Kota Kembang yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, biduanita era 1970-an yang kini menjadi anggota DPR. Sebait liriknya di bawah ini.
“Kota Kembang yang selalu, sangat kurindukan
Di sana aku dibesarkan, diasuh ayah bunda,
Tiada pernah kulupakan, hingga aku dewasa”
0 coment�rios:
Posting Komentar